Raja Marsundung Simanjuntak adalah salah satu cucu dari Sibagot Ni
Pohan, Sibagot Ni Pohan ini mempunyai empat orang anak:
1. Tuan Sihubil.
2. Tuan Somanimbil.
3. Tuan Dibangarna.
4. Raja Sonakmalela.
Tuan Somanimbil mempunyai tiga orang anak, yaitu:
1. Somba Debata (Siahaan).
2. Raja Marsundung (Simanjuntak).
3. Tuan Maruji (Hutagaol).
Raja Marsundung mempunyai istri pertama yang bernama Taripar Laut boru
Hasibuan. Dari isteri pertama ini Raja Marsundung mendapatkan satu orang
anak yaitu Raja Parsuratan.
Beberapa tahun setelah Taripar Laut boru Hasibuan meninggal, Raja
Marsundung mengambil isteri dari negeri Sihotang (dekat Pangururan
Samosir) yang bernama Sobosihon boru Sihotang. Dengan demikian sejak itu
Si Raja Parsuratan memiliki ibu tiri (panoroni). Dari isteri yang kedua
ini lahirlah Raja Mardaup, Raja Sitombuk, Raja Hutabulu dan dua orang
anak perempuan. Salah satu dari dua anak perempuan Raja Marsundung
kemudian kawin dengan marga Sirait.
Rupanya hubungan antara Raja Parsuratan dan ibu tirinya Sobosihon boru
Sihotang kurang harmonis. Hal ini dapat dimaklumi karena di orang Batak,
antara anak tiri dengan ibu tirinya sering tidak ada
kecocokan/kerukunan, juga karena si Bapak selalu lebih memihak kepada
isteri keduanya. Karena kondisi yang tidak menyenangkan ini, Raja
Parsuratan meninggalkan kampung halamannya dan pergi ke kampung
Tulangnya di Sigaol, desa Marga Hasibuan.
Menurut cerita orang-orang tua, Raja Parsuratan cukup lama tinggal di
Sigaol, bahkan sampai-sampai orang di sana mengira dia bermarga
Hasibuan. Kemudian Raja Parsuratan mengawini boru tulangnya yakni Boru
Hasibuan. Beberapa lama kemudian Raja Parsuratan mendengar berita bahwa
bapaknya, Raja Marsundung telah meninggal dunia. Raja Parsuratan
kemudian kembali pulang ke kampung halamannya di Parsuratan, Paindoan
Balige. Di Balige inilah kemudian Raja Parsuratan menetap dan hidup
berdekatan dengan ibu tirinya, Sobosihon boru Sihotang dan anak-anaknya
yaitu Raja Mardaup, Raja Sitombuk dan Raja Hutabulu serta dua orang anak
perempuan.
Salah satu keturunan Raja Marsundung dari isterinya Sobosihon boru
Sihotang, yaitu anak yang tertua (anak perempuan) sangat dekat dengan
ibunya. Sebagai anak yang tertua, maka dialah yang selalu gigih membantu
ibunya sementara adik-adiknya masih kecil-kecil.
Karena Raja Parsuratan magodang (artinya besar) di kampung tulangnya,
maka dia tidak memiliki hubungan yang dekat dengan bapaknya, sehingga
setelah meninggal, tidak ada pesan dari Raja Marsundung kepada Raja
Parsuratan terutama mengenai harta yang ditinggalkan. Raja Parsuratan
menganggap bahwa harta yang berupa satu ekor kerbau merupakan anak dari
kerbau-kerbau yang dipungka Raja Marsundung dengan Taripar Laut boru
Hasibuan. Disinilah malapetaka itu berawal (bonsir ni parbadaan i), yang
disebabkan hanya karena memperebutkan seekor kerbau saja.
Tidak ada bukti maupun petunjuk (keterangan), yang dapat menjelaskan
bahwa persengketaan disebabkan oleh harta¬ harta yang lain seperti sawah
atau benda tidak bergerak lainnya. Sekali lagi sumber perselisihan
hanya karena seekor kerbau.
Selanjutnya karena kedua belah pihak yaitu Raja Parsuratan di satu pihak
dan Sobosihon boru Sihotang dan anak-anaknya di lain pihak, memiliki
sawah masing-¬masing, kepemilikan kerbau menjadi sangat penting (untuk
membajak sawah). Sulit bagi kedua belah pihak untuk memanfaatkan tenaga
kerbau yang hanya seekor itu secara bergiliran. Sampai saat ini tidak
jelas ceritanya apakah kerbau yang satu ekor itu secara de facto berada
dalam penguasaan Raja Parsuratan atau dalam penguasaan Sobosihon boru
Sihotang dan anak-anaknya.
Akhirnya timbullah emosi (hona mara) Raja Parsuratan (konon kabarnya)
yang berakibat meninggalnya putri sulung dari Sobosihon boru Sihotang.
Tidak jelas kapan dan apa yang mengakibatkan putri sulung tersebut
meninggal. Namun meninggalnya putri tercinta inilah yang menjadi sebab
dari pertikaian/perselisihan antara Raja Parsuratan (yang kemudian
dikenal dengan Parhorbo Jolo) dengan Raja Mardaup-Raja Sitombuk-Raja
Hutabulu (yang kemudian dikenal dengan Parhorbo Pudi) yang berlangsung
hingga saat ini. Perselisihan ini sebenamya sudah pernah dicoba untuk
diselesaikan oleh saudara-saudara Raja Marsundung yaitu Siahaan dan
Hutagaol, bahkan oleh keturunan Si Bagot Ni Pohan. Namun sampai saat ini
belum terjadi penyelesaian.
Menurut pendapat Penulis, peristiwa meninggalnya putri sulung itu
sengaja didramatisir oleh orang-orang tertentu yang ingin membuat
perpecahan di antara turunan Raja Marsundung Simanjuntak hingga dewasa
ini. Bahkan cerita tersebut sudah meluas karena dengan sengaja, cerita
mengenai kematian putri sulung tersebut disebarkan ke marga-marga lain
yaitu kepada marga-marga yang mempunyai kaitan perkawinan dengan marga
Simanjuntak, terutama pihak boru.
Demikianlah salah satu contoh yang menunjukkan betapa tingginya kadar
konflik pada orang Batak. Konflik yang disebabkan oleh faktor kultur
yaitu konflik hubungan sosial (social conflict), ditambah lagi dengan
ketidakcocokan diantara para pemimpin non-formal, diantara kedua belah
pihak.
Konflik diantara marga Simanjuntak semakin memanas setelah adanya
perbedaan kepentingan pada masa Orde Lama, yaitu pada tahun 1963. Pada
waktu itu dilakukan pembuatan tugu Sobosihon boru Sihotang di Balige
yang tujuannya adalah untuk kepentingan golongan tertentu yang ingin
mengumpulkan massa. Pihak ini menggalang solidaritas di antara turunan
dari nenek moyang Sobosihon boru Sihotang yang jumlahnya cukup banyak.
Marga Simanjuntak adalah salah satu marga terbesar dikalangan suku batak
hingga terkenal istilah Simanjuntak na solot di ri (Simanjuntak Ri)
yang artinya dimana ada rumput (ri), disitu ada Simanjuntak. Pendirian
tugu ini dilaksanakan oleh tokoh-tokoh dari turunan Raja Mardaup, Raja
Sitombuk, dan Raja Hutabulu di bawah pimpinan Alm. Drs. Parlagutan
Simanjuntak, yang pada waktu itu menjabat sebagai Bupati Tapanuli Utara.
Pendirian tunggu ini tidak mengikutsertakan atau mengundang turunan
Raja Parsuratan. Tidak lama sesudah peresmian tugu, terjadi pemilihan
Bupati Kepala daerah Tk II Tapanuli Utara dan pada saat itu Drs.
Parlagutan Simanjuntak yang juga menjadi calon bupati secara tiba-tiba
meninggal dunia. Oleh karena Drs. Parlagutan Parlagutan Simanjuntak
meninggal dunia maka calon Bupati lainnya yaitu Kolonel Sinaga terpilih
menjadi Bupati. Setelah tugu Sobo Sihon boru Sihotang didirikan, maka
sejak itulah terbentuk perkumpulan Simanjuntak Sitolu Sada Ina.
Pada tahun 1968 telah dibentuk pula perkumpulan persatuan Raja
Marsundung Simanjuntak yang anggotanya terdiri dari turunan dari Raja
Marsundung Simanjuntak yang lengkap, yaitu Parsuratan, Mardaup,
Sitombuk, dan Hutabulu. Perkumpulan persatuan Raja Marsundung
Simanjuntak merupakan suatu perkumpulan yang menyatukan seluruh
keturunan dari Raja Marsundung Simanjuntak baik keturunan dari istri
pertamanya, Taripar Laut boru Hasibuan, maupun dari istri keduanya,
Sobosihon boru Sihotang.
Banyak lagi perselisihan-perselisihan di antara orang Batak yang membuat
pergaulan sehari-hari menjadi tidak harmonis, antara lain marga
Silalahi dengan marga Sihaloho, marga Panggabean dengan Marga Hutabarat,
juga perselisihan di antara turunan Si Raja Lontung. Tetapi
perselisihan tersebut tidak separah perselisihan diantara keturunan Raja
Marsundung Simanjuntak.
Sebenarnya, jika teliti lebih jauh, semua masalah yang menjadi penyebab
timbulnya konflik tersebut relative sepele (tidaklah prinsipil), namun
akibatnya jelas terasa di dalam upacara-upacara adat Batak. Persoalan
marga-marga ini sepertinya susah/sulit diselesaikan. Kurang harmonisnya
pergaulan di kalangan orang Batak dapat mengakibatkan tidak optimalnya
Dalihan Na Tolu. Oleh karena itu, pada jaman reformasi dan era
globalisasi ini, perlu disosialisasikan paradigma baru Dalihan Na Tolu
dengan melaksanakan prinsip sinergi dan prinsip win-win solution untuk
mengefektifkan Dalihan Na Tolu membawa orang Batak menuju kesatuan dan
persatuan.
Untuk menyelesaikan konflik/perselisihan perlu diaktifkan peranan
Dalihan Na Tolu seperti misalnya musyawarah mufakat, runggun partukkoan
(dialog, kompromi, rekonsiliasi) atau membuat Padan atau Janji, dengan
berpegang pada prinsip win-win solution. Peranan Gereja juga penting
untuk memfasilitasi usaha rekonsiliasi diantara marga-marga yang masih
ada perselisihan diantara sesamanya.
Sumber : http://johanpardz27.blogspot.com/
0 komentar:
Post a Comment