Ompu Halto sang Pejuang
Pagi itu udara sangat cerah. Angin berhembus dengan perlahan. Dan sinar
mentari menyinari langkah pasukan Marsose pimpinan Kapt. Christoffel
yang tiba di Sibongkare. Pasukan ini sedang mengejar Raja
Sisingamangaraja, beserta pasukannya. Seluruh rakyat dikumpulkan di
suatu tempat. Mereka dinterogasi satu persatu tentang keberadaan Raja
Sisingamangaraja. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang disiksa karena
tidak mau menunjukkannya. Melihat situasi ini, Ompu Halto datang menemui
sang kapten dan mengatakan bahwa ia adalah penguasa daerah ini. Sang
kapten sangat merasa beruntung, karena salah satu dari musuh mereka
telah datang menyerahkan diri.
· “Didia Sisingamangaraja?” tanya salah seorang pembantu Kapt.
Christoffel yang ternyata berasal dari orang Batak sendiri kepada Ompu
Halto.
· “Di Bakkara,” jawab Ompu Halto dengan tenang.
· “Didia Sisingamangaraja?” tanya orang itu dengan suara lebih
keras.
· “Sambor nipim parjehe!” jawab Ompu Halto.
Pembantu Belanda itu memberi isyarat agar Ompu Halto disiksa. Maka,
dengan bengis dan tanpa ampun Ompu Halto dipopor, ditendang dan dipukul
dengan rotan mallo sebesar ibu jari kaki. Namun ia tetap tegar
seakan-akan tidak merasakan sedikitpun siksaan tersebut.
Memang, Ompu Halto memiliki berbagai ilmu kesaktian. Ia pernah belajar
ilmu hadatuon di Barus. Nama Ompu Halto adalah gelar yang diberikan oleh
masyarakat kepadanya sekalipun waktu itu ia belum beristri dan
beranak-cucu. Gelar ini disandangnya, karena ia memiliki ilmu yang dapat
membuat badan orang yang memusuhinya menjadi gatal-gatal. Rasa gatal
itu bukan merupakan gadam, karena kalau gadam badannya akan luka-luka,
meleleh dan mengakibatkan kematian. Yang dapat mengobati rasa gatal itu
adalah Ompu Halto sendiri dengan cara meludahinya.
· “Didia Sisingamangaraja?” tanya orang itu kembali dengan nada
tidak sabar.
· “Ndang di ida matangku, alai di ida mata ni rohangku,”[6]
begitu jawaban yang selalu diucapkan Ompu Halto setiap ditanya tentang
keberadaan Raja Sisingamangaraja.
Ia tidak mau berbohong, sebab ia tahu benar, di mana Raja
Sisingamangaraja berada. Maka siksaan pun semakin kuat dan berjalan
sepanjang hari, hingga satu popor senjata remuk tidak membawa hasil.
Ketika itu, Raja Sisingamangaraja telah dievakuasi ke Simatabo. Setelah
sebelumnya berada di Sibongkare selama empat kali bulan tula. Di
Sibongkare, Ompu Halto memilih tempat yang sangat terlindung bagi
pasukan Raja Sisingamangaraja yaitu Lobu Sierge. Tempat ini adalah
kawasan kebun buah-buahan dengan pohon durian besar-besar dan ambasang,
sehingga aktivitas di lingkungan ini tidak menarik perhatian pasukan
Belanda. Menurut nasehat Ompu Halto, di Lobu Sierge tidak boleh ada api,
karena asap yang membumbung tinggi akan kelihatan dari jarak jauh.
Seluruh makanan di masak di luar. Karena Raja Sisingamangaraja dan
seluruh garis keturunannya berpantang makan daging babi, maka ia dan
seluruh marga Sinambela garis keturunannya menggantinya dengan makan
ikan. Ikan di Sibongkare sangat gampang dicari, karena Aek Sisira dan
Aek Ardoman merupakan gudang ikan sungai yang melimpah saat itu. Umumnya
adalah ikan boyom yang dibungkus dengan daun sungkit lalu dimasukkan ke
dalam bara api. Ikan ini bisa tahan dua atau tiga minggu asal
benar-benar memasaknya. Tidak perlu piring atau tempat makanan lainnya,
sebab bulung langge dan bulung motung di sekitar tempat ini cukup
banyak.
Setiap pagi, Ompu Halto dan Raja Sisingamangaraja berunding sambil
mardemban. Ia sudah lama menjadi penasehat spiritual dan datu bolon bagi
Raja Sisingamangaraja.
· “Kekuatan Belanda tidak dapat kita imbangi, Ompu!”
· “Ya, benar. Namun perjuangan ini harus dilanjutkan sampai
titik darah penghabisan! Aku sangat tidak rela kalau tanah para leluhur
kita ini diinjak-injak oleh orang-orang asing yang bermuat semena-mena.”
Ompu Halto ingat ketika ia sebagai Rajaihutan memaklumkan perang dengan
Belanda kepada rakyat Kalasan Hulu. Ia begitu gigih mengobarkan semangat
berjuang kepada rakyatnya. Dan dalam waktu yang sama, Raja
Sisingamangaraja telah memaklumkan perang terhadap Belanda, karena ia
sangat murka dengan maklumat Belanda tahun 1876 yang menyatakan bahwa
seluruh tanah Batak menjadi tanah jajahannya, dan meminta seluruh
raja-raja Batak dan rakyatnya untuk meletakkan senjata. Maka rakyat pun
bahu-membahu melakukan perlawanan. Seluruh laki-laki dimobilisasi untuk
menjadi pasukan siap perang.
Waktu itu, Belanda sedang melancarkan serangan dari Barus ke Kalasan
Hulu. Ompu Halto yang telah berpengalaman melintas ke Barus tahu benar
bahwa jalan dari Barus ke Kalasan Hulu hanya dan harus melewati Gunung
Sigurung-gurung. Dan jalan tersebut hanya sebuah jalan setapak dengan
kemiringan gunung 75o. Ia dan pasukannya mencegat di puncak gunung itu.
· “Kumpulkan batu sebanyak-banyaknya!” katanya kepada
pasukannya.
· “Untuk apa Ompu?” tanya salah satu pasukannya.
· “Saat pasukan Belanda itu naik, maka kita akan menimpuki
mereka dengan batu-batu besar itu.”
Benar. Ketika serdadu penjajah itu mencoba mendaki gunung
Sigurung-gurung, maka dengan membabi buta dan tanpa kenal ampun, pasukan
Ompu Halto menimpuki mereka dengan batu-batu besar. Banyak diantara
mereka yang mati dan tidak sedikit yang terjun langsung ke jurang yang
dalam.
Ketika Sisingamangaraja dan pasukannya akan dievakuasi ke Simatabo, Raja
Buntal dan Raja Barita, kedua putra Sisingamangaraja yang masih kecil
tidak ikut rombongan dan tinggal di Sibongkare di bawah perlindungan
Ompu Halto. Maka, saat Ompu Halto mendapat siksaan dari pasukan Marsose
di hari pertama mereka melihatnya. Pada malam harinya, mereka dilarikan
ke Tombak Pak-Pak Babo hutan premier di hulu Aek Ardoman agar jauh dari
jangkauan musuh.
Sementara itu, Kapt. Christoffel memerintahkan untuk tidak membunuh Ompu
Halto, namun penyiksaan harus terus dilanjutkan sampai ada pengakuan di
mana lokasi Sisingamangaraja berada. Di hari kedua, ia disiksa oleh
algojo dari Ambon. Karena tetap tidak mau mengaku juga, siksaan
dilanjutkan pada hari ketiga dan keempat.
Penyiksaan pada hari keempat ini lebih kejam dan sadis. Karena alat-alat
penyiksaan sudah habis, maka Ompu Halto diseret di tengah halaman. Dua
buah andalu ditancapkan. Kedua tangannya direntangkan dan diikat di
andalu. Dan penyiksaan tiada tara itu pun berlangsung. Seluruh rakyat,
tua-muda dan anak-anak menyaksikan penyiksaan yang belum pernah mereka
lihat sebelumnya, termasuk juga kedua istri Ompu Halto. Sedangkan
pasukan Marsose mengadakan penyisiran ke seluruh pelosok Sibongkare,
Lobu Sierge dan kemudian ke Lobu Toruan. Namun mereka tidak mendapat
satu bukti pun yang dapat menyeret Ompu Halto.
Akhirnya menjelang sundut mataniari sebuah andalu dicabut dan ……….
andalu dipukulkan ke punggung Ompu Halto dengan kekuatan penuh, hingga
ia terhuyung-huyung dan ambruk tergeletak di tanah dalam keadaan pingsan
seperti tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan. Raga Ompu Halto kemudian
dibuang ke jurang yang tidak terlalu dalam, jurang parlambuhan tak jauh
dari tempat penyiksaan. Seluruh rakyat meratapi kepergiannya dengan
tangis dan kesedihan yang tak terkira, terlebih kedua istrinya yang
merasa sangat kehilangan. Mereka mengutuk atas penyiksaan sadis itu,
sebuah kebiadaban yang belum pernah terbayang sebelumnya. Yang lebih
memilukan lagi, tidak seorang pun diizinkan untuk menjenguk ataupun
merawat korban.
Pukulan andalu itulah yang menyebabkan kesaktian Ompu Halto sirna. Ia
mempunyai kesaktian yaitu badannya kebal terhadap berbagai senjata
tajam, seperti pisau, golok, tombak atau alat-alat pemukul lainnya jika
benda-benda tersebut bersih (tidak terkena tanah). Keampuhan alat-alat
pembunuh itu hanya bertahan sebelum matahari terbenam, sebab alat-alat
itu mendapat kekuatan dari sinar matahari.
Tak terasa sore telah digantikan dengan malam. Para penduduk yang
menyaksikan penyiksaan itu segera bubar dan kembali ke rumah
masing-masing dengan membawa segala kesedihan sekaligus kebencian yang
luar biasa atas perlakuan kejam para penjajah. Sementara itu, jauh di
bawah jurang sana tubuh Ompu Halto masih terbujur kaku di antara
tetumbuhan talas dan suhat. Menjelang tengah malam, antara sadar dan
tidak sadar, ia merasa ada seseorang yang datang membantunya,
punggungnya yang sudah patah terkena pukulan alu diurut dengan baik
sehingga ada sedikit kekuatan baginya. Dan ketika Subuh menjelang, ia
merasakan ada ombun na manorok yang menimpa mukanya dan ia pun
meminumnya. Tetesan-tetesan embun dari daun talas inilah yang memberikan
kekuatan baginya.
Di hari kelima, Kapt. Christoffel memerintahkan anak buahnya untuk
memeriksa keadaan sang korban. Utusan tersebut memastikan bahwa Ompu
Halto sudah mati. Hari itu juga Kapt. Christoffel dan pasukannya
bergegas meninggalkan huta Sibongkare. Dengan demikian, rakyat mempunyai
kesempatan untuk menyelematkan Ompu Halto. Rakyat sempat terkejut,
ternyata di sekitar korban tergeletak mereka menemukan jejak-jejak
harimau yaitu babiat sitelpang. Akhirnya jiwa Ompu Halto dapat
diselamatkan, namun postur tubuhnya tidak tegap seperti semula, tetapi
membungkuk karena tulang punggungnya telah patah.
Jejak-jejak harimau itulah yang sebenarnya merupakan guru Ompu Halto
yang telah menjilati punggungnya agar terhindar dari kerusakan yang
parah.
Sedangkan di tempat lain, pasukan Marsose melanjutkan ekspedisi
mengikuti arus sungai Sisira Rambe, terus ke hilir menyusuri daerah Lae
Toras, Tarabintang, Gaman, Onggol, Pinim, Buluampa, Napahorsik terus ke
Parlilitan. Andaikata mereka belok ke arah kanan, mereka akan tiba di
Simatabo.
Sementara itu, setelah dua bulan rombongan Sisingamangaraja berada di
Simatabo, mereka menuju ke Pusuk melewati gunung Tindian Laut dengan
kemiringan 75o. Di gunung terjal ini kadang-kadang mereka menjumpai ikan
lele yang bermigrasi dari bawah ke atas melalui akar-akar kayu dan
lumut yang basah, sampai di puncak gunung tinggal 300 m ke bawah sudah
ada mata air. Menurut kepercayaan mereka, ikan lele ini tidak boleh
diganggu. Dari Pusuk, rombongan dievakuasi melalui desa Siringo-ringo,
Kual-kuali, terus ke Sionomhudon tepatnya di Bungus Pearaja.
Waktu itu, pasukan Marsose tiba di Sionomhudon dan mengobrak-abrik semua
desa serta menyiksa rakyat. Mereka mengalami kesulitan, karena rakyat
tidak mengetahui bahasa Batak Toba, rakyat desa ini berbahasa Dairi,
sehingga semua interogasi yang dilakukan pasukan Marsose tidak dapat
dijawab oleh rakyat setempat. Kemudian ekspedisi diintensifkan ke
seluruh pelosok dan seorang rakyat biasa tertangkap dan disiksa. Karena
tidak tahan atas siksaan itu, ia terpaksa mengeluarkan kata-kata Lae
Simonggo. Sehingga pada 13 Mei 1907 jejak Raja Sisingamangaraja yang
berada di sekitar Lae Simonggo mulai terungkap.
Menurut rencana semula, rombongan Raja Sisingamangaraja akan meneruskan
perjalanan ke Tele terus ke Harian Boho. Namun, perjalanan tidak dapat
dilanjutkan karena hutan rimba yang harus dilalui adalah rawa-rawa
setinggi pinggang orang dewasa. Hal ini sangat menyulitkan perjalanan,
apalagi persediaan makanan semakin menipis. Ditambah lagi, di sepanjang
hutan tidak ditemukan mata air yang dapat diminum. Akhirnya pasukan
tetap bertahan di Lae Sibulbulon.
Ada sungai kecil di hulu Lae Simonggo yaitu Lae Sibulbulon dan di hilir
Lae Simonggo bersatu dengan Simpang Kiri yang bermuara di Singkil Aceh.
di sungai Sibulbulon inilah akhirnya perang berkecamuk. Pada perang ini
Putri Lopian, putri raja Sisingamangaraja tewas tertembak. Melihat
kejadian ini, Raja Sisingamangaraja lari merangkul putrinya. Ternyata
darah Putri Lopian melumuri badan Raja Sisingamangaraja. Padahal ia
berpantang kena darah untuk memlihara kesaktiannya. Dengan demikian
kesaktian Raja Sisingamangaraja pudar dan dapat ditembak oleh Belanda.
Dengan gugurnya Raja Sisingamangaraja pada tahun 1907, maka perang
dengan Belanda berakhir.
Banyak yang gugur dalam peperangan di Sibulbulon, termasuk Patuan Anggi
dan Patuan Nagari yang keduanya adalah putra Raja Sisingamangaraja. Juga
para prajurit, hulubalang dan panglima, termasuk panglima-panglima
Aceh. Perang Aceh dan dan perang Batak bersamaan waktunya, hubungan Aceh
dan Batak sangat harmonis sehingga Sultan Aceh mengirimkan beberapa
panglima perangnya untuk diperbantukan dalam perang Batak.
Jenazah Raja Sisingamangaraja dan kedua putranya dibawa ke Tarutung dan
dimakamkan secara rahasia di Kompleks Tangsi Serdadu Belanda. Sedangkan
jasad Putri Lopian yang masih bernapas dibuang ke jurang, namun kemudian
jenazahnya diambil dari jurang dan dihanyutkan ke Lae Simonggo yang
bermuara di Singkil.
Walaupun perang Batak telah berakhir dengan wafatnya Raja
Sisingamangaraja, namun di beberapa tempat di Kalasan Hulu perlawaran
terus berlangsung secara sporadis. Pemberontakan-pemberontakan ini
membuat desa-desa tidak aman, pembangunan terhalang dan rakyat tidak
dapat mengerjakan sawah-ladangnya yang mengakibatkan kehidupan terpuruk.
Ompu Halto sadar bahwa kekuatan Belanda tidak dapat ditandingi. Ia
menganjurkan kepada seluruh rakyat Kalasan Hulu untuk menghentikan
perlawanan.
"Diambil dari berbagai sumber"
"Diambil dari berbagai sumber"
0 komentar:
Post a Comment