headline photo

Gereja dan Kebudayaan

Thursday, 15 January 2015

I. Definisi Budaya.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri.”Citra yang memaksa” itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti “individualisme kasar” di Amerika, “keselarasan individu dengan alam” d Jepang dan “kepatuhan kolektif” di Cina. Citra budaya yang brsifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.
Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain.


II. Pengertian Kebudayaan.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan memPengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.




III. Ciri-ciri Kebudayaan.
Ciri-ciri khas kebudayaan adalah:
A.    Bersifat historis. Manusia membuat sejarah yang bergerak dinamis dan selalu maju yang diwariskan secara turun temurun;
B.     Bersifat geografis. Kebudayaan manusia tidak selalu berjalan seragam, ada yang berkembang pesat dan ada yang lamban, dan ada pula yang mandeg (stagnan) yang nyaris berhenti kemajuannya. Dalam interaksi dengan lingkungan, kebudayaan kemudian berkembang pada komunitas tertentu, dan lalu meluas dalam kesukuan dan kebangsaan/ras. Kemudian kebudayaan itu meluas dan mencakup wilayah/regiona, dan makin meluas dengan belahan-bumi. Puncaknya adalah kebudayaan kosmo (duniawi) dalam era informasi dimana terjadi saling melebur dan berinteraksinya kebudayaan-kebudayaan;
C.     Bersifat perwujudan nilai-nilai tertentu. Dalam perjalanan kebudayaan, manusia selalu berusaha melampaui (batas) keterbatasannya. Di sinilah manusia terbentur pada nilai, nilai yang mana, dan seberapa jauh nilai itu bisa dikembangkan? Sampai batas mana?
IV. Hubungan Antara Gereja dan Kebudayaan.
Dalam sejarah gereja, hubungan antara gereja dan budaya telah mendapat perhatian sejak awal sampai sekarang. Walaupun demikian, hubungan itu tidak berlangsung cuma dalam satu model melainkan beranekaragam, tergantung pada sejauhmana kita memahami apa itu gereja dan apa itu budaya.
Menurut H.Richard Niebuhr, jika kita mencermati sejarah gereja (khususnya di Eropa dan Amerika sampai pasca perang dunia kedua) maka ada sejumlah model/pola hubungan gereja dan budaya yang bertolak dari bagaimana memahami hubungan gereja/Kristus dan keabudayaan,  sebagai berikut  :



a. Kristus bertentangan dengan kebudayaan (Christ against Culture).
Dalam sikap ini orang kristen menentang kebudayaan, gereja tidak mau tahu terhadap kebudayaan, sebab kebudayaan dianggap hanya membawa pengaruh negatif bagi kekristenan dan gereja.
b. Kristus dari kebudayaan (Christ of Culture).
Sikap ini berkeyakinan bahwa Kristuslah yang memiliki kebudayaan. Oleh karena itu orang beriman harus berusaha menyesuaikan diri (toleran) dengan kebudayaan.
c. Kristus di atas kebudayaan (Christ above Culture).
Dalam pemahaman seperti ini, Kristus dipandang sebagai yang menggenapi/menyempurnakan kebudayaan. Namun Ia berbeda sama sekali dengan kebudayaan. Karena itu orang kristen, gereja harus menghargai kebudayaan.
d. Kristus dan kebudayaan dalam paradoks (Christ and Culture in paradox).
Sikap ini berkeyakinan bahwa orang kristen, gereja hidup dalam dua “dunia” yang berbeda secara asasi tetapi tidak dapat dipisahkan. Pada satu pihak orang kristen, gereja hidup dalam Kerajaan Allah, namun pada pihak lain ia hidup dalam “kebudayaan” masyarakat di mana dia ada.
e. Kristus pembaharu kebudayaan (Christ transforming Culture).
Apa yang dikemukakan Niebuhr di atas dalam tempo yang lama (bahkan sampai saat ini) masih berpengaruh ketika berbicara tentang hubungan gereja dan kebudayaan, walaupun untuk kepentingan masakini mesti dikritisi dengan bijak sebab konteks telah berubah dan perkembangan pemikiran-pemikiran teologis juga terus terjadi dan berkembang.

V. Sikap Iman Kristen Terhadap Kebudayaan.
Ada 5 macam sikap umat Kristien terhadap kebudayaan, yakni:
1.Antagonistis atau oposisi
Sikap antagonistis atau oposisi terhadap kebudayaan ialah sikap yang melihat pertentangan yang tidak terdamaikan antara agama Kristen dan kebudayaan.Sebab akibatnya, sikap ini menolak dan menyingkirkan kebudayaan pada semua ungkapannya. Gereja dan umat beriman memang harus berkata tidak atau menolak ungkapan kebudayaan tertentu, yakni kebudayaan yang ; 1. MenghinaTuhan 2. Menyembah berhala dan 3. Yang merusak kemanusiaan.
2. Akomodasi atau persetujuan
Kebalikan dari sikap antagonis adalah mengakomodasi, menyetujui atau menyesuaikan diri dengan kebudayaan yang ada. Terjadilah sinkritisme. Salah satu sikap demikian ditujukan untuk membawa orang pada cara berfikir, cara hidup dan berkomunikasi atau berhubungan dengan orang lain sedemikian rupa sehingga seolah-olah semua agama sama saja.
3. Dominasi atau sintesis
Dalam gereja yang mendasari ajarannya pada teologi Thomas Aquinas. Ia menganggap bahwa sekalipun kejatuhan manusia kedalam dosa telah membuatcitra ilahinya merosot pada dasarnya manusia tidak jatuh total, manusia masihmemiliki kehendak bebas yang mandiri. Itulah sebabnya didalam menghadapi kebudayaan kafir sekalipun, umat bias melakukan akomodasi secara penuh dan menjadikan kebudayaan kafir itu sebagai bagian imam, namun kebudayaan itu disempurnakan dan disucikan oleh sakramen yang menjadi anugrah Ilahi.
4. Dualisme atau pengutuban
            Yang dimaksud dengan sikap dualistis atau pengutuban terhadap kebudayaan ialah pendirian yang hendak memisahakan iman dari kebudayaan ialah ; terdapatpada kehidupan kaum beriman kepercayaan kepada karya Allah kepada TuhanYesus Kristus, namun manusia tetap berdiri didalam kebudayaan kafir. Peran penebusan Tuhan Yesus yang mengubah hati manusia berdosa menjadi manusia yang hidup didalam iman tidak lagi berarti menghadapi kebudayaan.
5.Pengudusan atau pertobatan
Sikap pengudusan adalah sikap yang tidak menolak, namun tidak juga menerima, tetapi sikap keyakinan yang teguh bahwa kejatuhan manusia kedalam dosa tidak menghilangkan kasih Allah atas manusia. Manusia dapat menerima kebudayaan selama hasil hasil itu memuliakan Allah, tidak menyembah berhala, mengasihi sesama dan kemanusiaan. Sebaliknya, bila kebudayaan itu memenuhi salah satu atau keempat sikap budaya yang salah satu itu, umat beriman harus menggunakan firman Tuhan untuk menguduskan kebudayaan itu, sehingga terjadi transformasi budaya kearah budaya yang, memuliakan Allah.

AKIBAT MENGEJAR KESENANGAN


Pengkhotbah 2:1-11
Tentang tertawa aku berkata: "Itu bodoh!", dan mengenai kegirangan: "Apa gunanya?" (Pengkhotbah 2:2)
Ada dua kata dalam Pengkhotbah 2:2 yang menggambarkan cara hidup orang yang mengejar kesenangan tanpa mengingat Allah. Kata pertama, tertawa, berarti "kegembiraan yang dangkal," yang disebut "kegilaan."
Saya mengerti kebenaran tersebut pertama kali saat berusia 16 tahun. Waktu itu saya bekerja di pasar daging bersama beberapa pria pemabuk kelas berat. Mereka merusak kesehatan mereka sendiri dan menderita kesakitan secara sia-sia. Pada hari Senin mereka masuk kerja dalam kondisi tubuh yang sakit, menderita, dan tak dapat melakukan pekerjaan dengan baik. Tetapi, bila Sabtu malam tiba, mereka kembali melakukan kegilaan yang sama.
Beberapa tahun kemudian, saya baru mengerti kebenaran dari kata yang kedua, yakni kegirangan. Kata itu berarti "kesenangan karena banyak berpikir." Seorang pria tua yang tekun telah berhasil membangun bisnisnya dan menjadi sangat kaya. Namun ia tidak bahagia dan merasa tidak dikasihi oleh para ahli warisnya. Karenanya ia takut mati. Hidup senang yang dinikmatinya karena "banyak berpikir" telah membuat dirinya merasa hampa, sinis, dan tertutup terhadap Injil.
Setelah berupaya mengejar segala macam kesenangan, Salomo menyimpulkan bahwa semua itu adalah "kesia-siaan dan usaha menjaring angin" (ayat 11). Menikmati kehidupan bukanlah suatu dosa, tetapi cara hidup yang hanya mengejar kesenangan hanya menghasilkan kehampaan.
Apakah Anda telah melupakan Allah dalam hidup Anda? Percayalah kepada Kristus sebagai Juruselamat Anda dan alamilah sukacita hidup yang terbesar.

sumber: https://www.facebook.com/pages/Bejana-kemuliaan/492591964104594?fref=nf

Proteksi DMCA